Globalisasi
Dengan masuknya Indonesia ke dalam rangka pasar global, tantangan bagi petani menjadi semakin berat dan kompleks. Upaya globalisasi perdagangan sektor pertanian menyerahkan sistem pertanian dan nasib petani Indonesia kepada mekanisme pasar bebas, didasarkan atas prinsip free-fight liberalism (liberalisme pertarungan bebas). Siapa yang kuat, dia yang menang. Siapa yang lemah, dia yang kalah. Bonnie Setiawan, salah seorang aktivis dengan Institute for Global Justice di Jakarta, menjelaskan,
Si kuat adalah perusahaan-perusahaan importir; pedagang-pedagang besar; birokrat rente; perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang menguasai benih, pupuk, obat-obatan, sarana produksi, mesin-mesin, tanaman transgenik; perusahaan-perusahaan agribisnis besar; dan para penguasa tanah besar dan pejabat-pejabat yang mendapat keuntungan dari MNC. Si lemah adalah mayoritas petani Indonesia dan masyarakat pedesaan yang serba kecil/mikro usahanya, subsistens (pas-pasan) dan miskin, banyaknya petani yang tak bertanah, dan mereka yang selalu dikalahkan dalam banyak kasus agraria (2003:67-8).
Akibat beban hutangnya, maka Indonesia dengan muda diikat kepada kesepakatan-kesepakatan multilateral, yang justru mengutamakan kepentingan si kuat. Dampak berat perdagangan bebas sudah mulai terasa di Indonesia pada tahun 1995, dengan masuknya ke dalam Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture), salah satu alat liberalisasi dibentukkan oleh World Trade Organisation (WTO), polisi dagang dunia yang berpihak pada kepentingan Negara-negara Maju (Wahono, 2001:xiii). Namun, melalui program International Monetary Fund (IMF), yang di Indonesia dikenal sebagai Letter of Intent (LoI), mulai pada tahun 1997 Indonesia terpaksa tunduk kepada proses liberalisasi yang drastis. Pelaksanaan program structural adjustment ini menyaratkan penurunan, bahkan penghilangan tarif atas banyak komoditi, termasuk pangan; penghapusan subsidi; serta pembukaan impor seluas-luasnya bagi produk pertanian luar negeri. Kedaulatan pangan secara sistemik digerogoti oleh mekanisme pasar ‘bebas’. Sementara kesenjangan antara si kuat dan si lemah semakin meluas. Sejak krisis 1998, bahkan tarif bea-masuk pangan pokok – beras, gula, kedelai, jagung, telur dan gandum - sempat menjadi nol persen akibat syaratan IMF. Jutaan petani Indonesia dirugikan. Kemudian sejak 1 Januari 2000, ditetapkan bea-masuk impor beras menjadi 30 persen. Namun, negara seperti Jepang masih mengenakan tarif impor beras jauh di atas 100 persen. Akan tetapi setiap kali upaya menaikkan tarif bea-masuk, dan lalu melindungi rakyat petani Indonesia, selalu ditentang IMF (atau lebih tepat kalau dikatakan, ditentang pihak si kuat). Lagi pula, harga beras dunia telah menurun sampai Rp1.800/kg dibanding harga beras produk Indonesia, Rp2.400/kg. Selisih ini, tanpa tarif bea-masuk yang layak akan membebankan lagi petani Indonesia (Setiawan, 2003:68-9, Wahono, 2000:138). Akibat proyek liberalisasi pertanian, maka total impor komoditas pangan utama Indonesia (yaitu beras, jagung, bungkil kedelai, kacang tanah, gandum), pada tahun 2001 sudah mencapai angka Rp11.8 trilyun. Selanjutnya, Indonesia pernah, pada tahun fiskal 1998/1999, menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, yaitu 4.8 juta ton beras. Akan tetapi rata-rata perkiraan permintaan per tahunnya adalah hanya 3.2 juta ton beras (Setiawan, 2003:68). Para importir, ‘si kuat’, semakin diuntungkan. Sementara rakyat petani, sekitar 27 juta keluarga yang menggantungkan nasibnya di sektor pertanian, semakin dimiskinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar