Selasa, 17 Februari 2009

SPOOF
POOF....PUFT.....PUSSS..........


Penguin in the Park



Once a man was walking in a park when he came across a penguin.

He took him to a policeman and said, "I have just found this penguin. What should I do? " The policeman replied, "take him to the zoo ".
The next day the policeman saw the same man in the same park and the man was still carrying the penguin with him. The policeman was rather surprised and walked up to the man and asked, "Why are you still carrying that penguin about? Didn't you take it to the zoo? " "I certainly did", replied the man. "And it was a great idea because he really enjoyed it, so today I' taking him to the moviest!




POTATO FARMER

Potato farmer was sent to to prison just at time when he should have been digging the ground for planting the new crop of potatoes. He knew that his wife would not be strong enough to do the digging by herself, but that she could manage to do the planting, and he also knew that he did not have any friends or neighbors who would be willing to do the digging for him. So he wrote a letter to his wife which said “Please do not dig the potato field. I hide the money and the gun there.”
Ten days later, he got a letter from his wife. It said, “I think somebody is reading your letter before they go out of prison. Some policeman arrived here two days ago and dug up the whole field. What shall I do now?”
The prisoner wrote back at once. “Plant the potatoes, of course!”

HAHAHAHA.................

NGERTI NGGA????
NGERTI NGGA????

^_^



Senin, 16 Februari 2009

Memelihara Integrasi Sosial

dan

Menegakkan HAM Melalui Pendidikan Multikultural

Dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang pluralistis di mana setiap anak yang mengalami berbagai jenis kebudayaan diharapkan belajar beradaptasi terhadap kebudayaan utama Indonesia (mainstream culture), upaya pendekatan belajar bagi setiap anak harus lebih banyak dikaji secara mendalam sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak (Developmentally Appropriate Practice, DAP).

Sejak kemerdekaan bangsa ini maka telah disebutkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap anak Indonesia berhak untuk belajar. UUD ini dilandasi oleh filsafat yang serasi dengan hak asasi manusia yang menjaga kedaulatan manusia yang memiliki hak untuk belajar. Selanjutnya dalam UU No.2 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa setiap anak diberi hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, bahkan, lebih jauh lagi, pasal 8 ayat 2 UU Sisdiknas 1989, menyatakan juga bahwa perhatian khusus harus diberikan kepada anak yang kecerdasannya luar biasa (unggul, berbakat) dan anak yang memiliki perkembangan yang menyimpang (exceptional, dalam arti handicapped) (UU no.2 tahun 1989 ini masih untuk acuan sebab proses UU Sisdiknas tahun 2003 belum selesai, masih perlu peraturan pelaksana- Red). Ini berarti, bahwa secara legal sistem pendidikan dilandasi oleh suatu filsafat pendidikan yang mendalam yang mengakui perbedaan unik pribadi individu. Artinya, keragaman, martabat serta perbedaan nilai dalam pertumbuhan anak Indonesia secara implisit mengandung peluang untuk mewujudkan azas eksploratif dan kecenderungan kreatif dalam seluruh tumbuh kembangnya.

Sistem Pendidikan Di Masa Lalu

Penyelenggaraan system pendidikan, di dalam dekade-dekade orde baru, sebagaimaan diungkapkan oleh Slamet Iman Santosa (Basis, 1998 : 6 dalam Qua Vadis

Pendidikan di Indonesia), banyak “disetir” oleh political will. Artinya, seluruh sistem pendidikan mengacu pada kecenderungan politis. Para penguasa terlalu banyak mencampuri dan “mengarahkan“ sistem pendidikan ini, sehingga apa yang disebut filsafat pendidikan nyaris tidak terefleksikan dalam setiap tindakan pendidikan maupun pembelajaran. Sistem pendidikan, ataupun mungkin lebih sempit dari itu : sistem persekolahan terlalu banyak digunakan sebagai vehicle untuk transmisi sosial membangun kehidupan bersama dan menomorduakan kebhinekaan demi keekaan. Konvergensi dan kesamaan tujuan pembangunan. Dengan demikian membangun manusia Indonesia seutuhnya sebenarnya telah direduksikan dalam tindak pendidikan. Demikian pula tujuan pendidikan juga mengacu pada tujuan pembangunan bangsa dan negara yang menuntut konvergensi perilaku, bahkan hal-hal yang original, lateral dan baru dianggap mengganggu keselarasan dan kesesuaian corak kehidupan hari ini. Ini berarti, bahwa sistem pendidikan bersifat status quo karena kemungkinan mengadakan inovasi dan bertindak kreatif, menuntut divergensi berfikir dan originalitas yang kurang diperhatikan karena suasana belajar sifatnya uniform. Disamping itu lebih diprioritaskan stabilitas dan keseragaman kontinuitas (Semiawan, C, 2000, op.cit : 21).

Dampak Arus Global

Seiring dengan perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat Indonesia dengan berlangsungnya proses transformasi menuju ke otonomi daerah maka sistem pendidikan mengacu pada reformasi. Terjadinya reformasi berjalan bersama dengan tuntutan dan bahkan juga disebut ancaman arus global. Masalah reformasi pendidikan pada semua jenjang dan tingkat persekolahan di negeri kita yang tercinta ini dalam menghadapi era global menuju konsep masyarakat madani dan sejahtera yang kita cita-citakan memerlukan berbagai rancangan dan persiapan yang matang. Dalam arti perspektif teoritis pemenuhan kebutuhan pembangunan pada umumnya banyak terkait dengan pemenuhan tuntutan teknologi dan tuntutan peningkatan tingkat keterampilan profesional yang pada gilirannya menuntut peningkatan pendidikan.

Dengan tersebarnya inovasi Iptek yang menyebar secara cepat di belahan dunia kita, diperlukan kombinasi dengan atribut lain dalam penemuan dan penerimaan Iptek itu ke dalam kebudayaan berbangsa (Semiawan, C, dalam Semiawan, C, & Raka Joni, 1993 : 8 ). Dengan adanya kesenjangan dari kemajuan Iptek dalam kehidupan sosial rakyat kita, yang dampaknya dapat kita rasakan sampai di dalam kehidupan desapun, maka ternyata bahwa gejala globalisasi tersebut memaparkan tuntutan baru bagi kehidupan berbangsa. Penerusan ilmu pengetahuan dan pengembangan sumber daya manusia seta penyadaran masyarakat bahwa diperlukan penyesuaian sikap dan adaptasi sebagai atribut kehidupan dalam kombinasi dengan kemampuan Iptek mengisyaratkan bahwa proses globalisasi memerlukan penanganan khusus (Semiawan, C, 1997, op cit : 8).

Menghadapi era global di masa yang akan datang, diharapkan kesadaran tentang reformasi pendidikan memenuhi kondisi masa depan yang dipersyaratkan (necessary condition to be fulfilled). Kurun waktu milenium ke 3 dari proses kehidupan manusia sudah berlangsung, dan abad ke-21 dan abad ke-22 ini bukan saja merupakan abad baru, melainkan juga peradaban baru. Hal ini dikarenakan betapapun mengalami krisis moneter, Indonesia akan terkena juga oleh restrukturisasi global dunia yang sedang berlangsung. Restrukturisasi dunia, yang terutama ditandai oleh berbagai perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan aspek kehidupan lain, mempengaruhi setiap insan manusia, laki, perempuan, anak di negara berkembang maupun di negara maju, tidak terkecuali negara Indonesia.

Rekonseptualisasi Sistem Pendidikan

Rekonseptualisasi sistem pendidikan beranjak dari rancangan pembelajaran dan implementasinya di sistem persekolahan yaitu mengacu kepada pendidikan yang lebih bersifatan agent of change, yang menumbuhkembangkan kreativitas, produktivitas dan prakarsa. Dengan demikian perlu diwujudkan nilai-nilai baru dalam pendidikan, artinya pendidikan harus lebih berwibawa mengembangkan dan mendukungkehidupan masyarakat dalam co-creating new values (Semiawan, C, 2000 : 25). Namun untuk mencapai kriteria tersebut dan dalam rangka dinamika sebagaimana digambarkan diatas maka sektor pendidikan seharusnya bergerak mengupayakan suatu reformasi. Era reformasi ini telah menuntut desentralisasi pendidikan yang selama ini diwarnai oleh ciri sentralisasi. Mindshift ini merupakan kesadaran intelektual yang adalah titik awal dari upaya reformasi. Namun begitu, ada baiknya khususnya dalam konteks pendidikan, kita juga meninjau kembali apa yang melandasi era reformasi ini sehingga jelas apa yang akan menjadi landasan kebijakan tersebut. Meskipun kita semua sadar bahwa harus terjadi perubahan, sehingga apa yang dikatakan intellectual mindshift benar terjadi, secara fair kita harus menoleh pada apa yang sudah dan apa yang tidak terjadi di masa lalu, artinya, apa yang menjadi landasan kebijakan pendidikan kita, khususnya dan terutama pada tingkat pendidikan dasar (yaitu yang mencakup sekolah dasar dan menengah). Di dalam suasana hiruk pikuk ini sektor pendidikan harus tetap berperan. Perannya adalah seperti tadi dinyatakan, co-creating new values dengan memperhatikan pola pemukiman peserta didik, pola distribusi sumber strategi, pola prasangka dalam masyarakat, kontrol efektif terhadap kekuasaan serta penerapan prinsip meritokrasi dalam pendidikan yang bersifat multikultur.

Berbeda dari masa lalu, masyarakat baru yang sedang belajar menjadi masyarakat demokratis harus juga tidak terlalu “menguasai” kebijakan pendidikan itu menyimpang dari kebijakan nasional yang sudah ada secara legal. Guru harus memiliki taraf kebebasan tertentu untuk memberikan peluang pada peserta didiknya untuk belajar aktif, berbeda dari jawaban yang tersedia di pedoman kunci jawaban guru, apabila suatu persoalan memiliki kemungkinan lebih dari suatu jawaban. Ini berarti bahwa filsafat yang telah dilancarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani paling mendekati visi pendidikan yang kecenderungannya adalah menyulut aktualisasi potensi seseorang menuju pada the spirit to create and innovate. Seharusnya filosofi ini menjadi pedoman serta acuan kita karena setiap anak yang berbeda bakatnya itu menghidupi berbagai budaya, yang berbeda-beda pula, artinya, manusia adalah seorang individu yang unik sekaligus juga mahluk sosial yan majemuk . inilah paradoks perkembangan manusia.

Aspek Sosial

Di dalam reformasi pendidikan yang berjalan bersamaan dengan proses otonomi daerah, maka beberapa aspek sosial yang terkait dengan intervensi lingkungan harus diselesaikan dalam jangka panjang maupun jangka pendek, seiring dengan landasan kebijakan nasional pendidikan. Asumsinya adalah bahwa perubahan sosial yang terjadi akan berdampak terhadap seluruh sistem pndidikan perlu difikirkan. Pada tahun 2000 sekelompok ilmuwan (kurang lebih 400 orang), yang independent, diprakarsai oleh Nurkholis Madjid, Emil Salim, Andi Malarangeng dan lain-lain berkumpul di Bali mencari solusi terhadap masalah keterpurukan total negara kita. Sekelompok ilmuwan sosial di mana penulis adalah salah seorang anggotanya, mengajukan beberapa rekomendasi, antara lain :

Perlu penyelesaian jangka panjang, yaitu :

a. Pemetaan sosial (social mapping) untuk mencegah dan mengatasi konflik etnis.

• Pola permukiman (settlement pattern).

• Pola distribusi sumber-sumber strategis (strategic resources).

• Pola prasangka (realitas subyektif) dalam interaksi.

b. Kontrol efektif terhadap kekuasaan. Sentralisme kekuasaan birokratis terbukti telah menciptakan struktur masyarakat yang tidak adil dan berakibat suburnya tindak kekerasan sosial.

c. Penerapan prinsip penghargaan pada prestasi (prinsip meritokrasi). Ikatan-ikatan primordialisme yang terintegrasi dengan sentralisme kekuasaan birokratis terbukti telah menciptakan tatanan sosial yang bertumpu pada ikatan-ikatan komunal yang menjadi lahan subur bagi munculnya tindak kekerasan komunal.

d. Pendidikan multikultur. Proses perubahan sosial telah membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang kompleks dan plural. (Forum Rembug Nasional, 2000:10).

Upaya penataan pranata dan prasarana sosial di luar lingkungan sekolah sebagaimana di gambarkan di atas itu adalah terutama ikhtiar menangkal dan meninggalkan primordialisme, yang kini sempat menjadi kecendrungan yang makin meningkat di tanah air kita.

Visi Pendidikan Multikultur :

Tanpa menutup mata akan adanya kemungkinan isu-isu kritis lain yang menyertai reformasi ini, namun tekad untuk tetap berkontribusi terhadap pembangunan kehidupan bangsa melalui pencerdasannya adalah suatu niat yang bersumber dari kehidupan bangsa melalui pencerdasannya adalah suatu niat yang bersumber dari refleksi yang mendalam dari kekuatan religius bangsa dalam kehidupan bertakwa kepada Allah SWT dan berawal dari suatu intellectual mindshift.

Kalau titik awalnya (TA, Point of Depature : POD) sudah jelas, yaitu kita menyadari (mindshift) bahwa kita belum terlepas dari krisis multi dimensional, maka ke mana anak kita akan kita bawa; ke mana titik tibanya (TT) atau Point of Arrival (POA).

Perspektif masa depan kita dilukiskan sebagai masyarakat madani yang beragama, ditandai oleh kebersamaan dalam kebhinekaan yang dilandasi oleh keadilan dan kesejahteraan yang berkesinambungan serta dalam keserasian dengan kecendrungan global. Inilah TT kita. Dengan memahami visi tentang perjalanan yang harus di tempuh akan mencapai TT bangsa ini, maka kemudian perlu difahami bagaimana caranya mencapai cita-cita tersebut.

Dalam kaitan dengan reformasi pendidikan, maka apa yang menjadi landasan filsafat pendidikan adalah UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yang menyebutkan bahwa setiap anak Indonesia berhak untuk belajar. Dengan demikian, maka berdasarkan landasan bahwa setiap anak itu adalah individu yang berbeda satu dengan lainnya dengan beragam bakat dan watak, pengalaman belajar harus menjadi pengaruh yang bersifat personal, bermakna dan beragam. Konsekunsinya adalah bahwa paradigma pendidikan menuju sistem desentralisasi dalam otonom daerah mengacu pada keharusan pendidikan multikultur. Paradigma pendidikan multi kultur mengisyaratkan bahwa individu siswa individual belajar bersama dengan individulain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami.

Cara pandang dan interpretasi orang dalam satu budaya etnis tertentu terhadap makna lambang budaya tertentu, demikianpun perilakunya pada umumnya kurang lebih sama dan merupakan microculture tertentu dalam keseluruhan culture yang dominan, atau yang di sebut macroculture (mainstream). Namun, sebagaimana cara orang belajar juga memiliki perbedaan, demikian juga kelompok individu tertentu berbeda perkembangan, ara pandang dan orientasinya sesuai microculture tertentu dan sedikit banyak terbentuk oleh culture tersebut karena society lives through them, harus beradaptasi terhadap mainstream culture yang ada. Mereka adalah peserta didik yang apabila kurang mampu beradaptasi, disebut field dependent atau field sensitive, yaitu mereka mengalami kesulitan menyesuaikan diri dalam lingkungan belajar mereka. Apabila anak tidak dapat menyesuaikan dirinya, maka ada kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi. Apabila kebutuhannya tidak terpenuhi, ia akan mengalami stres atau frustasi, dan apabila seseorang mengalami stres atau frustasi, maka berbagai prilaku yang menyimpang (seperti mudah menipu dan sikap bermusuhan (hostile attitude) akan mungkin bisa menjadi akibatnya. Semua kecenderungan itu merupakan potensi untuk korupsi, tawuran, dsb.

Guru harus belajar agar mampu menerapkan strategi pembelajaran kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para sisiwa yang memiliki berbagai sifat yang beragam itu dalam suasana belajar yang sangat menyenangkan, sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari temannya. Salah satu tujuan utama multicultural education adalah mengubah (transformasi) berbagai pendekatan belajar mengajar, mengubah kunseptualisasi dan organisasinya sehingga setiap individu dari berbagai culture memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam lembaga pendidikan. Yang disebut kesempatan yang sama itu bukan semata-mata memperoleh bangku sekolah, melainkan yang lebih penting adalah selain kebersamaan dalam satu kelas, perhatian dan pelayanan penuh juga harus ada terhadap kebutuhan khusus pendidikan (special education needs) setiap individu. Setiap peserta didik menjadi bagian dari kelompok tertentu, kelas sosial, bangsa,etnis,agama, gender, kekhususan tertentu, dan ia bisa menjadi bagian atau menjadi anggota dari berbagai kelompok itu. Bagi pendidik penting untuk menyadari tingkat identifikasi pesertra didik dengan kelompok mana dan sampai seberapa jauh terjadi sosialisasi, untuk bisa memahami, menjelaskan dan meramalkan perilakunya agar ia terlayani dengan baik di kelasnya.

Apabila kurikulum sekolah-sekolah kita menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang menunjuk pada kemampuan yang terkait dengan kriteria tertentu (criterion referenced), maka mengintegrasikan pendidikan multikultur dalam mewujudkannya, memerlukan patokan minimal (threshold), dengan rentangan sampai dengan superior. Sekolah yang mengembangkan orientasi “managemen berbasis sekolah” perlu paling sedikit mencapai ambang minimal kompetensi, sedangkan sekolah yang mutunya baik yang mencapai rentangan superior dalam pengelolaan (manajemen)nya, dapat bersaing dengan sekolah-sekolah dari negara lain. Namun apabila Indonesia yang memiliki kurang lebih 210 juta penduduk serta lebih dari 300 suku bangsa dan kurang lebih 17.500 kepulauan, ingin berkompetisi dalam persaingan global, maka primodialisme yang berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, golongan, bahkan juga asal pendidikan tidak harus menjadi stereotype dalam kehidupan bernegara, melainkan penghargaan prestasi terhadap prestasi dan integritas pribadi harus lebih dikedepankan.


By : www. wahanakebangsaan.org